Pondok Pesantren Barokah Darurrohman

Ad Code

INFO

4/recent/ticker-posts

Menghidupkan Cahaya Akal, Menangkal Radikal

  


Pola pikir manusia sangatlah beragam, mulai dari individu sampai kelompok dan organisasi mempunyai pola pikir keagamaan yang baru. Mulai dari kematangan Iman, ketulusan dan kejernihan akal yang diungkapkan oleh Buya Husein Muhammad dalam bukunya yang bertemakan: ”Dialog dengan Kyai Ali Yafie: Hak Asasi Manusia, Pancasila, Negara Bangsa, Peran Akal, Konservatisme Peradaban Teks, Tafsir dan Upaya Mendialogkan Teks dan Realitas”.

Melalui pendapat tokoh filosof sejarah ilmu pengetahuan Thomas S. Khun memahami agama dalam menjalani realitas kehidupan sosial bermasyarakat menggunakan istilah “shifting paradigm”.[1] Moderasi beragama yang digelorakan oleh para cendekiawan muslim di Indonesia salah satunya adalah K.H. Abdurrahman Wahid melalui pluralitas beragama.

Membangun kepekaan di tengah-tengah masyarakat majemuk nan modern ini adalah sebuah tantangan. Melalui akal yang waras dalam memahami teks-teks keagamaan, budaya, sikap (attitude), dan lain sebagainya. Dalam istilah M. Arkoun, diperlukan kritik yang tajam untuk memahami Nash al-Qur’an wa al-Ahaadiits an-Nabawiyyah sekaligus kitab samawi lainnya dengan dasar utama yaitu konteks-konteks sosial, budaya, politik dan lainnya. Dalam hal ini tergambar dari asbab al-Nuzul dan asbab al-Wurud. Bukan lagi kita memahami secara tekstual saja in the old fashion.

Seorang sufi ternama Maulana Jalaludin Rumi (w. 1373 M) pernah mengungkapkan:

على المرء أن ينفذ إلى قلبه بنور العقل. ويرى واقعه. لا يكون عبداً للنّقل.

"seseorang hendaklah mengisi hatinya dengan cahaya akal dan melihat realitas, bukan menjadi hamba teks”.

Islam sejatinya mengajarkan kepada kita arti keterbukaan dalam berpikir, mengambil keputusan dan tentunya mengembangkan teks-teks keagamaan Hadharah an-Nash melalui dalil-dalil akal (rasional)  menjadi pemahaman yang mudah bagi masyarakat sekitar. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 1209 M), seorang mufasir besar, teolog dan pemikir dalam bidang fiqh tercatat dalam bukunya yang  berjudul al-Mathalib al-‘Aliyah min al-‘Ilm al-Ilahi.

Pondok pesantren menjadi salah satu lembaga Islam yang menaungi seluruh manusia yang hendak mengaji lebih mendalam tentang ilmu-ilmu agama. Mulai dari tingkat dasar, hingga kepada jenjang yang paling tinggi. Saya menganggap pesantren adalah sumber khazanah keilmuan Islam yang masih relevan hingga saat ini. Tentunya kita diantarkan kepada bacaan kitab-kitab kuning yang tidak berharakat (huruf gundul), melatih public speaking (musyawarah kutub at-Turots), dan menghafalkan bait sekaligus penjelasannya.

Dengan adanya tradisi ini, pesantren akan mencetak santri-santri yang berwawasan luas. Bagaimana tidak, disini kita akan mengenal sifat-sifat Allah SWT, mengenal karakteristik Nabi Muhammad SAW melalui sistem ceramah dan ngaji bersama para masyayikh. Sebagaimana Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan :

ظلّ الغزالي يعلن أنّ االعقل أساس النّقل فلولاه ما ثبتت النبوّة والشّريعة.

“al-Ghazali tetap mendeklarasikan bahwa akal adalah dasar (memahami) naql (teks). Andai kata tanpa akal, kenabian dan syariat (hukum-hukum) agama tidak dapat dipahami.”

Kemudian beliau melanjutkan perkataannya:

وكرّر هذا في أكثر مِن كُتُبِهِ وفي مناسبة عدّةٍ وحسبنا كلماته المضيئة في كتابه ميزان العمل حيث يدعوا إلى طلب الحقّ بطريق النّظر والفكر المستقلّ لا بطريق التّقليد الأعمى لزيد أو عمرو من النّاس.

“Imam Ghazali mengulang-ulang pernyataan ini dalam sejumlah bukunya dan sejumlah momen. Saya kira, cukup bagi kita mengutip pertanyaannya yang mencerahkan dalam bukunya Mizan al-‘Amal di mana dia mengajak (masyarakat) untuk mencari kebenaran melalui pemikiran dan analisis intelektual yang merdeka, bukan dengan taklid buta kepada zaid atau amr.”[2]

Makna yang bisa kita ambil adalah sosok Imam Ghazali yang diujuluki Hujjah al-Islam dan pakar di segala bidang ilmu, ia masih mencari sebuah jawaban dan pemahaman yang menyelamatkan akalnya dari taqlid yang menjerumuskannya kepada kejumudan berpikir.

Semoga kita mampu menjaga cahaya akal dan pemahaman kita yang nantinya akan menangkal paham radikal, intoleran dan fanatik.

Bekasi, 2 Januari 2023

By Al-Faqir Muhamad Reja Najib

Contact :

Email : https://www.g-mail.com/rezanazib32

Instagram : https://www.instagram.com/muhammadrejanajib

Facebook : https://www.facebook.com/rezanazib


[1] Kuhn, S. Thomas, The Structure of Scientific Revolutions (London: University of Chicago Press, 1970)hlm. 169-170.

[2] Yusuf al-Qardhawi, al-Ghazali baina Madihihi wa Naqidihi, Ihlm. 39.

Posting Komentar

0 Komentar

.