Pondok Pesantren Barokah Darurrohman

Ad Code

INFO

4/recent/ticker-posts

Menduniakan NU dan Pemikiran Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah An-Nahdliyyah

  


Menduniakan NU dan Pemikiran Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah An-Nahdliyyah

Satu Abad Nahdlatul Ulama Bukti Konkret Menjaga Semangat Kebangsaan.

Dalam rangka memperingati satu Abad Nahdlatul Ulama, PCINU Maroko (Pengurus Cabang Istimewa Nadlatul Ulama) membuka sayembara tulisan artikel dengan tema  Menduniakan NU dan Pemikiran Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah An-Nahdliyyah, yang terbuka untuk umum. Ini adalah bukti konkret dan antusias para warga Nahdliyyin Maroko dalam mempertahankan literasi khazanah intelektual Islam sejak dahulu hingga kini.

Muhasabah an-Nafs (introspeksi diri) menjadi Refleksi kita semua di setiap tahunnya, termasuk pada tahun 2023 ini. Sehingga harapan, cita-cita  dan do’a-do’a kita semua terwujud atas kehendak Allah SWT. Salah satunya  Nahdlatul Ulama yang lahir pada 31 Januari 1926/16 Rajab 1344 H yang memasuki umurnya ke 100 tahun sekaligus akan menggelorakan semangat kebangsaan dan kebangkitan para Masyayikh dan Ulama Nusantara lainnya.

Nahdlatul Ulama  identik dengan kultur budaya keagamaan dan amaliyah-amaliyahnya yang sangat kental. Sederhananya adalah banyaknya langgar-langgar ngaji, hingga pesantren salaf dan modern, ziarah kubur, tahlilan, maulid Nabi, dakwah wali songo dengan musik, perdagangan dan pernikahan antar kerajaan dan lain sebagainya. Resepsi 1 Abad Nahdlatul Ulama ini akan sangat meriah. Karena resepsi ini tidak hanya syi’ar kepada warga Indonesia saja pada umumnya tetapi NU akan mendunia dan dikenal oleh kancah nasional maupun internasional. Hal ini selaras dengan pepatah Arab yang mengatakan :

من ليس له أرض ليس له تاريخ، ومن ليس له تاريخ ليس له ذاكرة

“Barang siapa yang tidak memiliki tanah air, ia tidak memiliki sejarah. Dan barang siapa yang tidak memiliki sejarah, maka ia akan terlupakan.” Dalam pepatah Arab yang lain juga dikatakan:

لو ضاع منك الذّهب، في سوق الذّهب تلقاه. لو ضاع منك الحبيب، يمكن في سنة أو سنتين تنساه، لو ضاع منك الوطن، آه يا وطن وينك تلقاه.

“Jika engkau kehilangan emas, di pasar emas kau dapatkan gantinya. Jika engkau kehilangan tanah air, maka dari mana kau akan temukan gantinya”

Menjaga Nahdlatul Ulama adalah setara dengan menjaga tanah air. Menjaga ideologi kebangsaan Indonesia dan memelihara ukhuwwah wathaniyyah sekaligus solidaritas dan loyalitas dalam bingkai kebhinekaan.

NU dalam kancah Dunia

Nahdlatul Ulama sejak dahulu sudah mampu memperkenalkan dan memberikan sumbangsih keilmuan yang sangat besar oleh para ulama nusantaranya kepada kancah internasional, khususnya di kawasan Timur Tengah,  diantaranya Syaikh Yasin al-Fadani, Syaikh Nuruddin ar-Raniri, Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Abdurrouf Singkil, Syaikh Muhammad Yusuf al-Maqassari, Syaikh Arsyad al-Banjari, Syaikh Ahmad Khotib al-Sambasi, Sayyed Muhsin al-Palembani, Muhammad Mahfuz at-Tarmasi,  dan lain sebagainya. Dan banyak ulama lainnya yang dituangkan dalam sebuah tulisan yang berjudul “Jaringan Ulama Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII oleh cendekiawan muslim Indonesia yaitu Alm. Prof. Azyumardi Azra, Ph.D., M.Phil., M.A., CBE.

Selain sumbangsih keilmuan yang sangat luar biasa kepada Dunia Islam, maka kita sebagai generasi milenial setidaknya mampu memberikan kontribusi yang nyata bagi Indonesia, salah satunya adalah menampilkan pameran seni dan budaya ala Nahdlatul Ulama yang berhiaskan santri, seperti hadhrah, batik, tarian daerah dan karya-karya ulama Nusantara. Hal ini harus selalu kita jaga dan perlu dipertahankan untuk terus mensyi’arkan NU kepada dunia.

Mengambil dari jargon Nahdlatul Ulama yang sangat masyhur:

المحافظة على القديم الصّالح والأخذ بالجديد الأصلح

“Mempertahankan tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru (modern) yang lebih baik lagi”

Nahdlatul Ulama berusaha mempertahankan tradisi klasiknya yang sudah dilakukan para Nahdliyyin lainnya, tetapi di sisi lain tidak juga menghilangkan unsur modernnya yang terus berkembang sesuai kurun waktu zaman. Dalam KBBI, kata modern atau modernist bermakna sikap (attitude) dan corak berpikir (way of thinking) dan peran (acting). Modern juga diartikan sebagai ketotalitasan diri untuk berkembang, up to date dan tidak kolot. Tetapi tidak menghilangkan nilai-nilai dahulu yang juga sudah berkembang dan sempurna.[1]

Salah satu ciri modernisasi adalah membuka ruang untuk menyelam dalam pengalaman yang baru, cara pandang dan gagasan pemikiran yang baru. Walaupun pada hakikatnya di dunia ini tidak ada yang baru, sebagaimana pepatah inggris mengatakan: “There is nothing new under the sun”, hal ini betul adanya. Tetapi setidaknya kita berusaha mengembangkan teori lama yang nantinya akan tercipta pengetahuan dan teori yang baru.[2]

KH. Abdurrahman Wahid dan KH. Ahmad Siddiq menjadi salah satu dari dua tokoh Nahdlatul Ulama yang mensupport gairah intelektualitas masyarakat. Selama kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid, beliau juga berusaha agar para pemuda Nahdliyin mengeksplor dunia pendidikan modern, dan mengirimkan para pelajar Indonesia untuk mengenyam pendidikan di luar negeri, mengikuti isu-isu kekinian seperti seminar simposium Islam dan Pluralisme, Islam dan Jender, Islam dan Kosmopolitanisme, Islam dan Masyarakat Madani (Civil Society) dan Jaringan Islam Liberal. Ini semua untuk melatih para santri dalam penerapan multidisipliner keilmuan.[3]

Gus Durlah yang membentuk gagasan segar ini, sehingga banyak cendekiawan muslim dunia yang juga berusaha merespon dunia Arab Kontemporer. Diantaranya, Hassan Hanafi, Miiad Hanna, Said Asymawi, Jamal Banna, Younanna Qaitan, Nasr Hamid Abu Zayd, Nawal Sa'dani, Shalah Qanshumah , Ali Mabruk, Anwar Muqhits, Mahmud Amin Al-'Alim, Yusuf Al-Qardlawi, Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Shaykh Abdurrahman Badawi, Zaki Naquib Mahmud, Jabir Ushtur, Ali Harb, Jabir al-Ansari, Muhammad Abed Al-Jabiri, Salim Yafuth, Thaha Abdurrahman, Muhammad Ramaihi, and Sulayman Al-Ansyari.[4]

Salah satu ungkapan Abdullah Laroui tentang modernitas :

الحداثة موجة العوم ضدّها مخاطرة، ما ذا يبقى؟ إمّا الغوص؟ حتّى تمرّ الموجة فوق رؤوسنا فنظلّ حثالةً، وإمّا نعوم معها بكلّ ما لدينا من قوّةٍ فنكون مع النّاجين في أيةٍ رتبةٍ كان.

Modernitas adalah gelombang yang mengapung, melawannya adalah risiko (berbahaya). Apa yang tersisa? Baik menyelam? Sampai ombak melewati kepala kita, kita akan menjadi sampah, atau kita akan berenang bersamanya (ombak) dengan sekuat tenaga, maka kita akan bersama dengan orang-orang yang selamat

Memahami Pemikiran Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah an-Nahdliyyah.

Dalam sejarahnya, ahlusunnah wal jamaah an-nahdliyyah terlahir dalam mewarnai sebuah sejarah peradaban dan sebuah pemikiran Islam yang tidak berangkat dari ketiadaan konsep. Akan tetapi Ahlusunnah wal jama’ah an-Nahdliyah adalah sebuah stereotipe yang kehadirannya disengaja untuk mengembangkan Islam dan menjadi rujukan dalam menjalankan aktivitas keagamaan. Karena paham ini merujuk langsung kepada ajaran yang dibawa Rasulullah SAW. Jika dimaknai secara khusus, ahlussunnah wal jamaah muncul setelah masa pasca kenabian dengan istilah lain, istilah pasca kenabian ini selalu dikaitkan secara langsung kedalam tradisi sejarah Islam paling awal pada generasi Rasulullah SAW dan para sahabat kala itu.[5]

Membahas pemikiran, berarti kita terlebih dahulu mengetahui siapa saja yang memprakarsai berdirinya Nahdlatul Ulama ini, secara singkat saya menyampaikan bahwa Nahdlatul Ulama ini didirikan oleh banyak sekali para kyai, salah satu diantaranya adalah: K.H. Hasyim Asy’ari (Tebuireng), K.H. Abdul Wahab Hasbullah, K.H. Bisri (Jombang), K.H. Ridwan (Semarang), K.H. Nawawi (Pasuruan), K.H.R Asnawi (Kudus), K.H.R. Hambali (Kudus), K. Nakhrawi (Malang), K.H. Doromuntaha (Bangkalan), K.H.M. Alwi Abdul Aziz dan masih banyak lagi. NU sendiri diketuai oleh K.H. Hasyim Asy’ari.[6]

Bagaimana tidak, didirikannya Nahdlatul Ulama ini melalui banyak sekali tirakat dan ketekunan Hadhrotusyaikh K.H. Hasyim Asy’ari dalam mengemban banyak disiplin ilmu, seperti al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama dari kedua orang tuanya. Dalam perjalan karir intelektualnya, beliau juga banyak menimba ilmu di pondok-pondok pesantren seperti halnya; Ponpes Siwalan Buduran, Langitan, Tuban, Demangan, Bangkalan dan Sidoarjo.[7]

Ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah ala Nahdlatul Ulama ini berupa nilai-nilai ajaran pendidikan Islam Aswaja yang diaplikasikan dalam masyarakat oleh Nahdlatul Ulama. Pendidikan adalah kegiatan memperoleh dan menyampaikan pengetahuan, sehingga memungkinkan transmisi kebudayaan kita dari generasi yang satu kepada generasi berikutnya). Pendidikan hakikatnya merupakan usaha manusia untuk dapat membantu, melatih, dan mengarahkan anak melalui transmisi pengetahuan, pengalaman, intelektual dan keberagaman orang tua (pendidik) dalam kandungan sesuai dengan fitrah manusia supaya dapat berkembang sampai pada tujuan yang dicita-citakan yaitu kehidupan yang sempurna dengan terbentuknya kepribadian yang kokoh.

Menurut Hamzah, dalam bukunya “Pengantar Aswaja An-Nahdliyah” Dalam menjalankan paham Ahlussunnah wal Jamaah, NU pada dasarnya menganut prinsip-prinsip utama yaitu, At-tawazun (keseimbangan), at-tawassuth (moderat), at-taadul (patuh pada hukum) dan amr maruf nahi munkar. Aswaja sebagai metode berifikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berdasarkan atas dasar modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi. Karenanya Aswaja dapat didefinisikan sebagai: “Ahlu Minhaj al-fikr ad-dini al-musytamil ala syuun al-hayati wa muqtadhayatiha al-qaimi ala asas at-tawassuth wa at-tawazun wa at-taadul wa at-tasamuh,” atau “orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yanmencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi.”[8]

Semoga peringatan 1 Abad Nahdlatul Ulama ini menjadi semangat baru kita untuk menyongsong masa depan yang gemilang.

Al-Faqir Muhamad Reja Najib

Contact :

Email : https://www.g-mail.com/rezanazib32

Instagram : https://www.instagram.com/muhammadrejanajib

Facebook : https://www.facebook.com/rezanazib


[1] Greg Barton, Traditionalisme Radikal: Persinggungan Nahdatul Ulama-Negara, Yogyakarta: LKiS, 1997, 176.

[2]  Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi atau Manusa Besar?, Bandung: Rosdakarya, 2005, 122- 123.

[3] M. Imam Azis, Melampaui al-Firqah an-Najiyah Menuju Teologi Sosial NU, dalam Zainal Arifin Thoha dkk (ed.), Membangun Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gusdur dan Gerakan Sosial NU, Yogyakarta: Titihan Ilahi Press, 1997, 217.

[4]  Ahmad Ali Riyadi, ―Gerakan Pembaruan Islam Kaum Muda Nahdlatul Ulama,‖ https://120_708_0&p_Gerakan+Pembaruan+Islam+kaum+muda+Nahdlatul+Ulama&rd=2739. Accessed on June 3, 2018.

[5] Khoidul Hoir, “Internalisasi Nilai-Nilai Aswaja Al-Nahdliyah Dalam Praktek Ideologi Kebangsaan Di Kalangan Pemuda Sampang” (Tesis—UIN Sunan Ampel Surabaya, 2019), 1-15.

[6] Yunus, M. (1926). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.

[7] Khoiriyah, R. (2017). Revitalisasi Pendidikan Islam Dalam Perspektif Kiai Hasyim Asyari. Jurnal Islam Nusantara, 1(2).

[8]Muchotob Hamzah, Pengantar Studi Aswaja An-Nahdliyyah, Lkis Pelangi Aksara, 1 Januari 2017, 157.

Posting Komentar

0 Komentar

.